SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM
(Dinamika Perkembangan Lembaga Pendidikan di Indonesia)
Reksiana, MA, Pd.
Disampaikan untuk memenuhi tugas kelompok Sejarah Pendidikan Islam
Kelompok 8
Disusun oleh:
Ulfi Zahrotul Arifah
Veren Nurizki Oktapianis
Wihdatul Muslihah
INSTITUT ILMU AL-QUR`AN (IIQ) JAKARTA
FAKULTAS TARBIYAH PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
2016 M/1437 H
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil ‘Alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan taufik dan hidayahnya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini, namun penulis menyadari makalah ini belum dapat dikatakan sempurna karena mungkin masih banyak kesalahan-kesalahan. Shalawat serta salam semoga selalu dilimpahkan kepada junjungan kita semua habibana wanabiana Muhammad SAW, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya, dan mudah-mudahan sampai kepada kita selaku umatnya.
Di dalam makalah ini penulis membahas mengenai “Dinamika Perkembangan Lembaga Pendidikan di Indonesia”, dengan makalah ini penulis mengharapkan agar dapat membantu sistem pembelajaran. Penulis ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan makalah ini.
Akhir kata penulis ucapkan terimakasih atas segala perhatian pembaca.
Ciputat, 08 April 2016
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................... i
DAFTAR ISI........................................................................................................ ii
PENDAHULUAN............................................................................................... 1
A. Latar Belakang.......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah..................................................................................... 1
PEMBAHASAN.................................................................................................. 2
A. Pesantren................................................................................................... 2
B. Madrasah................................................................................................... 6
C. Sekolah Berasrama.................................................................................... 11
PENUTUP............................................................................................................ 13
A. Simpulan.................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 14
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan pendidikan Islam di Indonesia antara lain ditandai oleh munculnya berbagai lembaga pendidikan secara bertahap, mulai dari yang amat sederhana, sampai dengan tahap-tahap yang sudah terhitung modern dan lengkap. Lembaga pendidikan Islam telah memainkan fungsi dan perannya sesuai dengan tuntutan masyarakat dan zamannya. Perkembangan lembaga-lembaga pendidikan tersebut telah menarik perhatian para ahli baik dari dalam maupun luar negeri untuk melakukan studi ilmiah secara konfrehensif. Kini sudah banyak hasil karya penelitian para ahli yang menginformasikan tentang pertumbuhan dan perkembangan lembaga-lembaga pendidikan Islam tersebut. Tujuannya selain untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuan yang bernuansa keislaman, juga sebagai bahan rujukan dan perbandingan bagi para pengelola pendidikan Islam pada masa-masa berikutnya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimakud dengan pesantren?
2. Apa yang menyebabkan tumbuh dan berkembangnya madrasah?
3. Apa yang dimaksud dengan sekolah berasrama?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pesantren
Menurut asal katanya pesantren berasal dari kata santri yang mendapat imbuhan awal pe dan akhiran an yang menunjukkan tempat. Dengan demikian, pesantren artinya tempat para santri. Sedangkan menurut Sudjoko Prasodjo, “Pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama, umumnya dengan cara nonklasikal, di mana seorang kiai mengajarkan ilmu agama Islam kepada santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama abad pertengahan, dan para santri biasanya tinggal di pondok (asrama) dalam pesantren tersebut.” Dengan demikian, dalam lembaga pendidikan Islam yang di sebut pesantren tersebut, sekurang-kurangnya memiliki unsur-unsur: kiai, santri, masjid sebagai tempat penyelenggaraan pendidikan dan pondok atau asrama sebagai tempat tinggal para santri serta kitab-kitab klasik sebagai sumber atau bahan pelajaran.
Kehadiran pesantren tidak dapat dipisahkan dari tuntutan umat. Karena itu, pesantren sebagai lembaga pendidikan selalu menjaga hubungan yang harmonis dengan masyarakat di sekitarnya sehingga keberadaannya di tengah-tengah masyarakat tidak menjadi terasing. Dalam waktu yang sama segala aktivitasnya pun mendapat dukungan dan apresiasi penuh dari masyarakat sekitarnya. Semuanya memberi penilaian tersendiri bahwa sistem pesantren adalah merupakan sesuatu yang bersifat “Asli” atau “Indigenos” Indonesia, sehingga dengan sendirinya bernilai positif dan harus dikembangkan.
Dari perspektif kependidikan, pesantren merupakan satu-satunya lembaga kependidikan yang tahan terhadap berbagai gelombang modernisasi. Dengan kondisi demikian itu, kata Azyumardi Azra, menyebabkan pesantren tetap survive sampai hari ini. Sejak dilancarkannya perubahan atau modernisasi pendidikan Islam di berbagai Dunia Islam, tidak banyak lembaga-lembaga pendidikan tradisional Islam seperti pesantren yang mampu bertahan. Kebanyakan lenyap setelah tergusur oleh ekspansi sistem pendidikan umum atau sekuler. Nilai-nilai progresif dan inovatif diadopsi sebagai suatu strategi untuk mengejar ketertinggalan dari model pendidikan lain. Dengan demikian, pesantren mampu bersaing dan sekaligus bersanding dengan sistem pendidikan modern.
Di sisi lain, ciri-ciri pesantren berikut unsur-unsur kelembagaannya tidak bisa dipisahkan dari sistem kultural dan tidak dapat pula dilekatkan pada semua pesantren secara uniformitas karena setiap pesantren memiliki keunikannya masing-masing, tetapi pesantren secara umum memiliki karakteristik yang hampir sama, di antara karakteristik pesantren itu dari segi:
1. Materi pelajaran dan metode pengajaran
Sebagai lembaga pendidikan Islam, pesantren pada dasarnya hanya mengajarkan agama, sedangkan kajian atau mata pelajarannya ialah kitab-kitab dalam bahasa Arab (kitab kuning). Pelajaran agama yang dikaji di pesantren ialah Al-Qur‘an dengan tajwid dan tafsirnya, aqa‘id dan ilmu kalam, fikih dan ushul fikih, hadis dengan mushthalah hadis, bahasa Arab dengan ilmunya, tarikh, mantiq, dan tasawuf.
Adapun metode yang lazim digunakan dalam pendidikan pesantren ialah:
a. Wetonan, yakni suatu metode kuliah di mana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kiai yang menerangkan pelajaran. Santri menyimak kitab masing-masing dan mencatat jika perlu. Pelajaran diberikan pada waktu-waktu tertentu, yaitu sebelum atau sesudah melaksanakan shalat fardhu. Di Jawa Barat, metode ini disebut dengan bandongan, sedangkan di Sumatera disebut dengan halaqah.
b. Metode Sorogan, yakni suatu metode dimana santri menghadap kiai seorang demi seorang dengan membawa kitab yang akan dipelajarinya. Metode sorogan ini merupakan bagian yang paling sulit dari keseluruhan metode pendidikan Islam tradisional, sebab sistem ini menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan, dan disiplin pribadi santri/ kendatipun demikian, metode ini diakui paling intensif, karena dilakukan seorang demi seorang dan ada kesempatan untuk tanya jawab langsung.
c. Metode Hafalan, yakni suatu metode dimana santri menghafal teks atau kalimat tertentu dari kitab yang di pelajarinya.
2. Jenjang Pendidikan
Jenjang pendidikan dalam pesantren tidak dibatasi seperti dalam lembaga-lembaga pendidikan yang memakai sistem klasikal. Umumnya, kenaikan tingkat seorang santri ditandai dengan tamat dan bergantinya kitab yang dipelajari. Jadi jenjang pendidikan tidak ditandai dengan naiknya kelas seperti dalam pendidikan formal, tetapi pada penguasaan kitab-kitab yang telah ditetapkan dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi.
3. Fungsi Pesantren
Pesantren tidak hanya berfungsi sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga berfungsi sebagai lembaga sosial dan penyiaran keagamaan. Sebagai lembaga pendidikan, pesantren menyelenggarakan pendidikan formal (madrasah, sekolah umum, perguruan tinggi) dan nonformal. Sebagai lembaga sosial, pesantren menampung anak-anak dari segala lapisan masyarakat muslim tanpa membeda-bedakan status sosial, menerima tamu yang datang dari masyarakat umum dengan motif yang berbeda-beda. Sebagai lembaga penyiaran agama Islam, masjid pesantren juga berfungsi sebagai masjid umum, yakni sebagai tempat belajar agama dan ibadah bagi para jamaah.
Di samping fungsi di atas, pesantren juga mempunyai peranan yang sangat besar dalam merespons ekspansi politik imperialis Belanda dalam bentuk menolak segala sesuatu yang “Berbau” barat dengan menutup diri dan menaruh sikap curiga terhadap unsur-unsur asing. Dan lebih dari itu, pesantren sebagai tempat mengobarkan semangat jihad untuk mengusir penjajah dari tanah air.
4. Kehidupan Kiai dan Santri
Berdirinya pondok pesantren bermula dari seorang kiai yang menetap (bermukim) di suatu tempat. Kemudian datanglah santri yang ingin belajar kepadanya dan turut pula bermukim di tempat itu. Sedangkan biaya kehidupan dan pendidikan disediakan bersama-sama oleh para santri dengan dukungan masyarakat di sekitarnya. Hal ini memungkinkan kehidupan pesantren bisa berjalan stabil tanpa dipengaruhi oleh gejolak ekonomi di luar.
Eksistensi kiai dalam pesantren merupakan lambang kewahyuan yang selalu disegani, dipatuhi, dan dihormati secara ikhlas. Para santri dan masyarakat sekitar selalu berusaha agar dapat dekat dengan kiai untuk memperoleh berkah, sebab menurut anggapan mereka seperti yang dikatakan oleh Zamakhsyari Dhofier, “Kiai memiliki kedudukan yang tak terjangkau, yang tak dapat sekolah dan masyarakat memahami keagungan Tuhan dan rahasia alam.” Tegasnya, kiai adalah tempat bertanya atau sumber referensi, tempat menyelesaikan segala urusan dan tempat meminta nasihat dan fatwa.
Berikut ini dipaparkan beberapa ciri yang sangat menonjol dalam kehidupan pesantren, sehingga membedakannya dengan sistem pendidikan lainnya. Setidak-tidaknya ada delapan ciri pendidikan pesantren, sebagai berikut.
a. Adanya hubungan yang akrab antara santri dengan kiainya
b. Adanya kepatuhan santri kepada kiai
c. Hidup hemat dan penuh kesederhanaan
d. Kemandirian
e. Jiwa tolong-menolong dan suasana persaudaraan
f. Kedisiplinan
g. Berani menderita untuk mencapai suatu tujuan
Perlu dicatat bahwa ciri-ciri di atas merupakan gambaran sosok pesantren dalm bentuk yang masih murni, yaitu pesantren tradisional. Sementara dinamika dan kemajuan zaman telah mendorong terjadinya perubahan terus-menerus pada sebagian besar pesantren. Maka pada akhir-akhir ini akan sulit ditemukan sebuah pesantren yang bercorak tradisional murni. Karena pesantren sekarang telah mengalami transformasi sedemikian rupa sehingga menjadi corak yang berbeda-beda.
Dilihat dari proses transformasi tersebut, sekurang-kurangnya pesantren dapat dibedakan menjadi tiga corak, yaitu pertama, pesantren tradisonal, pesantren yang masih tetap mempertahankan nila-nilai tradisionalnya dalam arti tidak mengalami transformasi yang berarti dalam sistem pendidikannya atau tidak ada inovasi yang menonjol dalam corak pesantren ini. Umumnya pesantren corak ini masih eksis di daerah-daerah pedalaman atau pedesaan. Sehingga bisa dikatakan bahwa desa adalah banteng terakhir dalam mempertahankan tradisi-tradisi keislaman. Kedua, pesantren tradisional modern, corak pendidikan pada pesantren ini sudah mulai mengadopsi sistem pendidikan modern, tetapi tidak sepenuhnya. Prinsip selektivitas untuk menjaga nilai tradisional masih terpelihara. Misalnya, metode pengajaran dan beberapa rujukan tambahan yang dapat menambah wawasan para santri sebagai penunjang kitab-kitab klasik. Manajemen dan administrasi sudah mulai ditata secara modern meskipun sistem tradisionalnya masih dipertahankan. Sudah ada semacam yayasan, biaya pendidikan sudah mulai dipungut. Alumni pesantren corak ini cenderung melanjutkan pendidikannya ke sekolah atau perguruan tinggi formal. Ketiga, pesantren modern, pesantren corak initelah mengalami transformasi yang sangat signifikan baik dalam sistem pendidikannya maupun unsur-unsur kelembagaannya. Materi pelajaran dan metodenya sudah sepenuhnya menganut sistem modern. Pengembangan bakat dan minat sangat diperhatikan sehingga para santri dapat menyalurkan bakat dan hobinya secara proposional. Sistem pengajaran dilaksanakan dengan porsi sama antara pendidikan agama dan umum, penguasaan bahasa asing (bahasa Arab dan Inggris) sangat ditekankan.
B. Madrasah
Sejarah dan perkembangan madrasah akan di bagi dalam dua periode yaitu:
1. Periode Sebelum Kemerdekaan
Pendidikan dan pengajaran agama Islam dalam bentuk pengajian al-Qur`an dan pengajian kitab yang diselenggarakan di rumah-rumah, surau, masjid, pesantren, dan lain-lain. Pada perkembangan selanjutnya mengalami perubahan bentuk baik dari segi kelembagaan, materi pengajaran (kurikulum), metode maupun struktur organisasinya, sehingga melahirkan suatu bentuk yang baru yang disebut madrasah.
Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam berfungsi menghubungkan sistem lama dengan sistem baru dengan jalan mempertahankan nilai-nilai lama yang masih baik yang masih dapat dipertahankan dan mengambil sesuatu yang baru dalam ilmu, teknologi, dan ekonomi yang bermanfaat bagi kehidupan umat Islam. Oleh karena itu, isi kurikulum madrasah pada umumnya adalah apa yang diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan Islam (surau dan pesantren) ditambah dengan beberapa materi pelajaran yang disebut dengan ilmu-ilmu umum.
Latar belakang pertumbuhan madrasah di Indonesia dapat dikembalikan pada dua situasi yaitu:
a. Gerakan Pembaharuan Islam di Indonesia
Gerakan Pembaharuan Islam di Indonesia muncul pada awal abad ke-20 yang dilatarbelakangi oleh kesadaran dan semangat yang kompleks sebagaimana diuraikan oleh Karel A Steenbrink dengan mengidentifikasi empat faktor yang mendorong gerakan pembaharuan Islam di Indonesia, antara lain:
1) Keinginan untuk kembali kepada al-Qur`an dan Hadist
2) Semangat nasionalisme dalam melawan penjajah
3) Memperkuat basis gerakan sosial, budaya dan politik
4) Pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia.
Bagi tokoh-tokoh pembaharuan, pendidikan kiranya senantiasa dianggap sebagai aspek yang strategis untuk membentuk sikap dan pandangan keislaman masyarakat. Oleh karena itu, pemunculan madrasah tidak bisa lepas dari gerakan pembaharuan Islam yang dimulai oleh usaha beberapa orang tokoh-tokoh intelektual agama Islam yng selanjutnya dikembangkan oleh organisasi-organisasi Islam.
b. Respons Pendidikan Islam terhadap Kebijakan Pendidikan Hindia Belanda
Pertama kali bangsa Belanda datang ke Nusantara hanya untuk berdagang, tetapi karena kekayaan alam Nusantara yang sangat banyak maka tujuan utama untuk berdagang tadi berubah untuk menguasai wilayah nusantara dan menanamkan pengaruh di Nusantara sekaligus dengan mengembangkan pahamnya yang terkenal dengan semboyan 3G yaitu, Glory (kemenangan dan kekuasaan), Gold (emas atau kekayaan bangsa Indonesia), dan Gospel (upaya salibisasi terhadap umat Islam di Indonesia).
Dalam menyebarkan misi-misinya itu, Belanda (VOC) mendirikan sekolah-sekolah Kristen. Misalnya di Ambon yang jumlah sekolahnya mencapai 16 sekolah dan 18 sekolah di sekitar pulau-pulau Ambon, di Batavia sekitar 20 sekolah, padahal sebelumnya sudah ada sekitar 30 sekolah. Dengan demikian, untuk daerah Batavia saja, sekolah kristen sudah berjumlah 50 buah. Melalui sekolah-sekolah inilah Belanda menanamkan pengaruhnya di daerah jajahannya.
Pada perkembangan selanjutnya di awal abad ke-20 atas perintah Gubernur Jenderal Van Heutsz sistem pendidikan diperluas dalam bentuk sekolah desa, walaupun masih diperuntukkan terbatas bagi kalangan anak-anak bangsawan. Namun pada masa selanjutnya, sekolah ini dibuka secara luas untuk rakyat umum dengan biaya yang murah.
Dengan terbukanya kesempatan yang luas bagi masyarakat umum untuk memasuki sekolah-sekolah yang diselenggarakan secara tradisional. Kalangan Islam mendapat tantangan dan saingan berat, terutama karena sekolah-sekolah pemerintah Hindia Belanda dilaksanakan dan dikelola secara modern terutama dalam hal kelembagaan, kurikulum, metodologi, sarana, dan lain-lain. Perkembangan sekolah yang demikian jauh dan merakyat menyebabkan tumbuhnya ide-ide di kalangan intelektual Islam untuk memberikan respons dan jawaban terhadap tantangan tersebut dengan tujuan untuk memajukan pendidikan Islam. Ide-ide tersebut muncul dari tokoh-tokoh yang pernah mengenyam pendidikan di Timur Tengah atau pendidikan Belanda. Mereka mendirikan lembaga pendidikan baik secara perorangan maupun secara kelompok /organisasi yang dinamakan madrasah atau sekolah. Madrasah-madrasah yang didirikan tersebut antara lain:
1) Madrasah (Adabiyah School). Madrasah ini didirikan oleh Syikh Abdullah Ahmad pada tahun 1907 di padang panjang. Belum cukup satu tahun madrasah ini gagal berkembang dan dipindahkan ke Padang. Pada tahun 1915 madrasah ini mendapat pengakuan dari belanda dan berubah menjadi Hollands Inlandsche School (HIS).
2) Sekolah Agama (Madras School). Didirikan oleh Syekh M. Thaib Umar di Sungayang, Batusangkar pada tahun 1910. Madrasah ini pada tahun 1913 terpaksa ditutup dengan alasan kekurangan tempat. Namun pada tahun 1918, Mahmud Yunus mendirikan Diniyah School sebagai kelanjutan dari Madras School.
3) Madrasah Diniyah (Diniyah School). Madrasah Diniyah didirikan pada tanggal 10 Oktober 1915 oleh Zainuddin Labai El Yunusiy di Padang Panjang. Madrasah ini merupakan madrasah sore yang tidak hanya mengajarkan pelajaran agama tetapi juga pelajaran umum.
4) Madrasah Muhammadiyah. Madrasah Muhammadiyah tidak diketahui berdirinya dengan pasti, namun diperkirakan berdiri pada tahun 1918 yang didirikan oleh organisasi Muhammadiyah.
5) Arabiyah School. Arabiyah School didirikan pada tahun 1918 di Ladang Lawas oleh Syekh Abbas.
6) Sumatera Thawalib. Didirikan oleh Syekh Abdul Karim Amrullah pada tahun 1921 di Padang Panjang. Sumatera Thawalib ini tidak hanya berdiri di Padang Panjang tetapi juga di Bukittinggi, Padang Japang, Sungayang/ Batusangkar, dan Maninjau.
7) Madrasah Diniyah Putri. Didirikan di Padang Panjang pada tahun 1923 oleh Rangkayo Rahmah El Yunusia. Madrasah ini merupakan madrasah putri yang pertama di Indonesia.
8) Madrasah Salafiyah. Didirikan oleh KH. Hasyim Asy`ari pada tahun 1916 di Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur. Madrasah ini berada di bawah naungan Nahdhatul Ulama.
Madrasah-madrasah di atas merupakan pionir dalam pendirian madrasah-madrasah lain di berbagai daerah lainnya untuk melakukan pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia.
2. Periode Setelah Kemerdekaan
Setelah kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, kemudian pada tanggal 3 Januari 1946 di bentuklah Departemen Agama yang akan mengurus masalah keberagamaan di Indonesia termasuk di dalamnya pendidikan, khususnya madrasah. Namun pada perkembangan selanjutnya, madrasah walaupun sudah berada di bawah naungan Departemen Agama tetapi hanya sebatas pembinaan dan pengawasan.
Sungguh pun pendidikan Islam di Indonesia telah berjalan lama dan mempunyai sejarah yang panjang. Namun dirasakan, pendidikan Islam masih tersisih dari sistem Pendidikan Nasional. Keadaan ini berlangsung sampai dengan dikeluarkannya SKB 3 Menteri tanggal 24 Maret 1975 yang tersohor itu, yang berusaha mengembalikan ketertinggalan pendidikan Islam untuk memasuki mainstream pendidikan nasional. Kebijakan ini membawa pengaruh yang sangat besarbagi madrasah, karena pertama, ijazah dapat mempunyai nilai yang sama dengan sekolah umum yang sederajat, kedua, lulusan sekolah madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum yang setingkat lebih tinggi, ketiga, siswa madrasah dapat pindah ke sekolah umum yang setingkat.
Terbitnya SKB 3 Menteri itu bertujuan antara lain untuk meningkatkan mutu pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan Islam khususnya untuk bidang nonagama. Di dalam usaha peningkatan komponen pendidikan nonagama perlu dicermati agar tidak jatuh dari ekstrem yang satu ke ekstrem yang lainnya. Oleh karena itu, diperlukan pengelolaan yang baik supaya selalu terdapat keseimbangan antara ciri khas pendidikan Islam dengan niat untuk meningkatkan mutu pendidikan yang diminta oleh perubahan zaman.
Dengan SKB tersebut, madrasah memperoleh definisi yang semakin jelas sebagai lembaga pendidikan yang setara dengan sekolah sekalipun pengelolaannya tetap berada di bawah Departemen Agama. Namun pada perkembangan selanjutnya, akhir dekade 1980-an dunia pendidikan Islam memasuki era integrasi dengan lahirnya UU No. 2/ 1989 tentang sistem Pendidikan Nasional, eksistensi madrasah sebagai lembaga pendidikan yang bercirikan islam semakin mendapatkan tempatnya. Tetapi ini menjadi kendala seperti yang dikhawatirkan Malik Fadjar “Ketika format madrasah dari waktu ke waktu menjadi semakin jelas sosoknya, sementara isi dan visi keislamannya terus mengalami perubahan.
C. Sekolah Berasrama
Sekolah berasrama pada dasarnya merupakan lembaga pendidikan yang terhitung baru di Indonesia. Jumlahnya belum terlalu banyak bila dibandingkan dengan lembaga-lembaga pendidikan Islami.
Azyumardi Azra berpendapat bahwa sebetulnya sekolah berasrama yang seringkali disebut Boarding School merupakan wujud lembaga pendidikan Islami yang baru. Kemunculannya terilhami oleh lembaga pendidikan pesantren. Dalam hal ini sekolah berasrama dinilai mengadopsi salah satu ciri dasar kelembagaan pesantren. Kita tahu, unsur pesantren paling tidak harus memiliki kiai, masjid, pondok, pengajian kitab kuning, dan seterusnya. Sekolah berasrama, menurut Azyumardi Azra, mengadopsi salah satu kelengkapan sarana fisik pesantren, yakni pondokan.
Menurut hemat penulis, pengadopsian itu adalah adopsi terhadap pola pendidikan yang digunakan. Sekolah berasrama mengikuti pola “pengasuhan” dengan corak hubungan kiai-santri seperti layaknya di pesantren yang sangat khas.
Namun demikian, hal yang perlu dicatat adalah bahwa sekolah berasrama seperti halnya madrasah, sekolah Islam, atau madrasah pesantren, sama-sama mengacu pada lembaga sekolah, untuk tujuan mendapatkan akses lebih luas ke dunia kerja dan tuntutan dasar-dasar Sisdiknas. Sekolah berasrama juga ikut mengambil aspek-aspek pendidikan Nasional, khususnya kurikulum nasional. Akan tetapi, hal lain yang patut dicatat adalah bahwa sekolah berasrama sebagai pendidikan swasta, seperti lembaga swasta lainnya, padaa umumnya sudah mulai memiliki kemapanan yang melampaui lembaga-lembaga pendidikan pemerintah. Kemapanan itu terlihat mulai dan profesionalisme, kelengkapan sarana-prasarana, dan mutu pendidikannya. Barangkali status swasta itulah yang menjadi faktor penentu. Kemandirian merupakan salah satu ciri lembaga swasta, yakni kemandirian dalam banyak aspek, dimana yang terpenting adalah semangat inovasi dan kreativitas.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Menurut penulis pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang tumbuh dan berkembang di pulau jawa dan sampai sekarang tetap survive. Untuk bisa dikatakan sebuah pesantren sekurang-kurangnya harus memiliki: Kiai, santri, masjid, dan pemondokan (asrama).
Tumbuh dan berkembangnya madrasah di Indonesia karena disebabkan oleh dua hal, yaitu karena adanya gerakan pembaharuan di Indonesia dan sebagai respons Pendidikan Islam terhadap kebijakan Pendidikan Hindia Belanda. Setelah Indonesia merdeka, kebijakan pemerintah terhadap madrasah masih belum jelas, madrasah masih tersisih atau belum masuk ke dalam sistem Pendidikan Nasional. Baru setelah keluarnya SKB 3 Menteri tahun 1975 dan UUSPN tahun 1989, madrasah mendapatkan tempatnya dalam sistem Pendidikan Nasional.
Sekolah berasrama adalah wujud lembaga pendidikan Islami yang baru dan dinilai mengadopsi salah satu ciri dasar lembaga pendidikan pesantren yakni pondokan.
DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi. Pendidikan Islami, Tradisi dan Modernisasi menuju Milenium Baru. Logos. Jakarta. 1999
Engku, Iskandar dkk. Sejarah Pendidikan Islam. PT Remaja RosdaKarya. Bandung. 2014
Nata, Abuddin. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia. Grasindo. Jakarta. 2001
Nizar, Samsul. Sejarah Pendidikan Islam. Kencana. Jakarta. 2007
Maksum. Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya. Logos. Jakarta. 1999
Suwendi. Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam. RajaGrafindo Persada. Jakarta. 2004